LATAR BELAKANG
GBHN 1993 telah mengamanatkan secara tegas bahwa orientasi pembangunan ditekankan kepada pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya kemakmuran yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; sebagaimana tercermin di dalam urutan trilogi pembangunan baik dalam Repelita V maupun dalam Repelita VI.
Sejalan dengan tujuan pemerataan pembangunan dan pengentasan kemiskinan tersebut di atas, maka sejak dari awal Repelita V telah dicanangkan Program Pengembangan Wilayah Terpadu; atau yang lebih dikenal dengan PPWT. Pendekatan PPWT ini pada hakekatnya merupakan upaya penanggulangan di wilayah-wilayah khusus di perdesaan dan permukiman kumuh perkotaan yang bersifat lintas sektoral dan sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan di daerah-daerah yang relatif tertinggal.
Pelaksanaan PPWT didasarkan pada Inmendagri No. 14 tahun 1990 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Pengembangan Wilayah Terpadu dalam rangka Pembangunan Daerah, dan Surat Mendagri No. 050/1402/Bangda tanggal 5 Juni 1993 perihal Panduan Operasional Inmendagri No. 14 Tahun 1990.
Program kerjasama luar negeri yang berbasis pengembangan wilayah, yang dikenal dengan program pengembangan wilayah (PPW) berbantuan luar negeri, telah dilaksanakan di Indonesia sejak dekade 80-an, yang dalam perkembangannya hingga saat ini telah menunjukkan kinerja yang semakin meningkat, baik secara cakupan program lintassektoral yang terkait maupun dari jumlah dana yang dialokasikan.
Pemantauan dan evaluasi yang dilakukan pihak Departemen Dalam Negeri terhadap pelaksanaan proyek-proyek dengan pendekatan IAD tersebut menunjukkan kinerja yang sangat memuaskan, sehingga pendekatan PPWT dianggap yang paling sesuai untuk diterapkan dalam rangka pembangunan wilayah dan sekaligus menanggulangi kemiskinan pada wilayah yang bersangkutan. Pada dasarnya, penjabaran PPWT di lapangan selama Repelita V telah diimplementasikan ke dalam bentuk berbagai program pengembangan wilayah yang berorientasi pada upaya pengembangan kawasan-kawasan yang relatif masih tertinggal dan sekaligus mengupayakan percepatan penanggulangan kemiskinan, dengan mengacu secara formal pada Inmendagri No. 14 Tahun 1990 tentang PPWT.
Selama Repelita V hingga tahun ketiga Repelita VI, jumlah dan jenis proyek PHLN yang dilaksanakan di daerah sangat banyak dan beragam, dan tersebar antardaerah. Selain itu, ditinjau dari segi sumber pembiayaannya, proyek-proyek PHLN tersebut bersumber dari berbagai donor, baik melalui kerjasama ekonomi yang sifatnya bilateral (seperti JICA, OECF, AusAID, GTZ, CIDA, dan USAID) maupun kerjasama ekonomi yang bersifat multilateral (seperti dari UNDP, ADB, IDB, dan IBRD).
Ditinjau dari luasnya cakupan kegiatan dan wilayah yang terkait dengan pengelolaan PPWT berbantuan luar negeri di daerah, maka fungsi koordinasi menjadi sangat penting dan vital. Dalam hal ini, peran dan tanggung jawab dari Bappenas bersama-sama dengan Ditjen Pembangunan Daerah (Bangda) Departemen Dalam Negeri dan Ditjen Anggaran Departemen Keuangan sangat penting dalam melakukan koordinasi kelembagaan di tingkat pusat dan daerah yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dengan pengelolaan proyek-proyek PPWT di daerah. Belum lagi apabila ditinjau dari sisi pihak penyandang dana (lender/donor) yang cukup beragam dan memiliki kekhususan, maka fungsi koordinasi pengelolaan PPWT ber-BLN menjadi semakin perlu untuk lebih ditingkatkan.
MASALAH POKOK
Berdasarkan uraian di atas yang menunjukkan sangat kompleks dan luasnya kegiatan pengelolaan program pengembangan wilayah terpadu berbantuan luar negeri tersebut, maka masalah pokok yang disoroti disini adalah masih belum adanya suatu petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang operasional dalam pengelolaan dan pengendalian PPWT ber-BLN di daerah.
PENGERTIAN DAN LINGKUP BAHASAN
Dalam pembahasan selanjutnya beberapa pengertian dan istilah yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut, seperti antara lain:
Perkembangan PPW dan Kondisi Dewasa Ini
Perkembangan program pengembangan wilayah (PPW) berbantuan luar negeri hingga saat ini telah menunjukkan kinerja yang semakin meningkat, baik secara cakupan program lintassektoral yang terkait maupun dari jumlah dana yang dialokasikan.
Secara historis, sebenarnya PPW sebagai suatu pendekatan pengembangan wilayah yang dilakukan secara terpadu (integrated area development/IAD/PPWT) sendiri dikembangkan setelah dilaksanakannya beberapa proyek pembangunan wilayah propinsi yang mendapatkan bantuan luar negeri pada dekade 1980-an, seperti (i) proyek Provincial Development Project (PDP) yang pelaksanaannya memperoleh bantuan dari USAID, (ii) proyek Yogyakarta Rural Development yang berbantuan Bank Dunia (yang dilanjutkan dengan proyek Yogyakarta Upland Area Development), (iii) proyek Sulawesi Regional Development yang berbantuan Pemerintah Canada (CIDA), (iv) proyek Nusa Tenggara Timur Integrated Area Development (NTTIADP) yang berbantuan Pemerintah Australia (AIDAB), dan (v) proyek Cendrawasih Coastal Area Development (CCAD) yang berbantuan UNDP.
Selama Repelita V hingga tahun kedua Repelita VI, jumlah dan jenis proyek PHLN yang dilaksanakan di daerah sangat banyak dan beragam, dan tersebar antardaerah. Selain itu, ditinjau dari segi sumber pembiayaannya, proyek-proyek PHLN tersebut bersumber dari berbagai donor, baik melalui kerjasama ekonomi yang sifatnya bilateral (seperti JICA, OECF, AusAID, GTZ, CIDA, dan USAID) maupun kerjasama ekonomi yang bersifat multilateral (seperti dari UNDP, ADB, IDB, dan IBRD).
Ditinjau dari segi sebaran antarkomponen di Depdagri, terlihat bahwa Ditjen Bangda relatif mendominasi sebagian besar proyek PHLN yang dilaksanakan selama ini, dan secara substansial jenis proyek PPW (program pengembangan wilayah) merupakan yang paling umum dilaksanakan oleh pemerintah daerah selaku implementing agency. Selanjutnya ditinjau dari segi sebaran antardaerah, dapat dilihat bahwa sebaran regional dari proyek-proyek PPW PHLN selama ini menunjukkan besarnya atensi donor pada propinsi-propinsi di wilayah KTI, walaupun masih terdapat beberapa propinsi di wilayah KBI yang juga memperoleh kesempatan untuk melaksanakan proyek PPW PHLN di daerahnya masing-masing. Dengan lebih banyaknya porsi wilayah KTI tersebut sekaligus menunjukkan bahwa pelaksanaan proyek-proyek PPW PHLN tersebut lebih diarahkan pada upaya pemerataan pembangunan.
Khususnya untuk tiga tahun pertama Repelita VI, proyek-proyek PPW PHLN yang dikelola di lingkungan Depdagri dan dilaksanakan oleh Pemda menunjukkan sebaran yang masih relatif didominasi oleh propinsi-propinsi di wilayah KTI, yaitu dari 22 propinsi pelaksana hanya 7 propinsi yang berada di wilayah KBI. Dilihat dari sumber pendanaannya terlihat pula bahwa ternyata proyek hibah (grant) lebih mendominasi proyek-proyek PPW PHLN yang dilaksanakan dalam dua tahun terakhir ini, dibandingkan dengan proyek yang bersumber dari pinjaman (loan). Juga ditunjukkan bahwa proyek PPW yang bersumber dananya dari loan hanya dari IDB, ADB, dan IBRD; sedangkan yang bersumber dari grant relatif lebih banyak dan beragam sumbernya, seperti dari GTZ, JICA, UNDP, dan AIDAB (AusAID).
Berdasarkan identifikasi yang telah dilakukan atas dasar hasil pengamatan, pemantauan dan supervisi terhadap berbagai proyek PPW PHLN yang sedang dilaksanakan, dapat disarikan isyu dan permasalahan pokok yang dihadapi baik pada tingkat pengelola di Pusat maupun di daerah, yaitu masalah masih rendahnya keterpaduan dalam pengelolaan dan pembiayaan PPW di daerah dalam setiap tahap pengelolaan proyek: (a) perencanaan dan persiapan, (b) pelaksanaan (implementasi), (c) pemantauan dan pengawasan, serta (d) keberlanjutan dan pemeliharaan kegiatan.
Dari permasalahan pokok di atas, dapat ditemukenali pula beberapa masalah khusus yang dihadapi dalam pengelolaan proyek-proyek PPW di tingkat pusat maupun daerah, yang antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut:
KINERJA YANG DIHARAPKAN
Sebagai salah satu konsekuensi terhadap adanya proyek berbantuan luar negeri, khususnya untuk proyek-proyek PPW yang berbantuan luar negeri, adalah perlunya disediakan dana pendamping rupiah murni yang dialokasikan di tingkat pusat maupun daerah. Dana pendamping atau penunjang rupiah murni tersebut diperlukan sebagai komitmen penyertaan dana GOI sebagai syarat untuk menarik dana pinjaman/hibah luar negeri (PHLN) atau menunjang kegiatan yang dibiayai PHLN. Sumber pendanaan pendamping/penunjang PHLN dapat berupa dana sektoral pusat (DIP APBN) dan daerah (DIPDA), baik yang bersumber dari APBD (PAD) murni maupun yang dibantu pusat melalui dana bantuan pembangunan daerah (Inpres Dati I, Dati II, dan Inpres Bangdes).
Di dalam perkembangannya, dimaklumi keterbatasan kemampuan kontribusi daerah untuk dapat mendampingi PHLN yang dialokasikan kepada daerah, oleh sebab itu sejak tahun kedua Repelita V yang lalu pemerintah pusat telah menerapkan suatu pola bantuan pendanaan tambahan kepada daerah (tingkat I dan tingkat II) yang dimaksudkan dapat menjadi stimulan awal terhadap kontribusi pendanaan yang berasal dari dana asli daerah.
Pola bantuan pendanaan tambahan tersebut dinamakan dengan dana ontop pendamping/penunjang proyek-proyek PHLN yang dilaksanakan di daerah, yang dialokasikan kepada dati I untuk selanjutnya didistribusikan kepada dati II pelaksana, dengan terlebih dahulu tercatat dalam APBD Tk. I dan dialokasikan kepada dati II pelaksana melalui 2P0A (subsidi daerah bawahan). Karena selama ini alokasi dana ontop PPW ber-BLN bersumber dari bagian 16 (pembiayaan dan perhitungan) yang termasuk ke dalam Program Pembangunan Dati I (09.1.03), maka alokasi dana tersebut diperuntukkan sebagai tambahan dana dalam Inpres Dati I.
Dalam lima tahun terakhir, alokasi pendanaan ontop pendamping/penunjang PHLN untuk proyek-proyek PPW ber-BLN mengalami pasang surut pendanaannya, yang sangat ditentukan dengan tumbuh dan hilangnya beberapa proyek yang memang secara komitmen sudah selesai atau baru dilaksanakan. Jumlah pendanaannya sendiri berfluktuasi dengan kisaran antara Rp10.000 juta hingga Rp15.000 juta.
Untuk tahun anggaran 1997/98 mendatang, dengan adanya penambahan beberapa proyek baru ber-BLN yang dimasukkan ke dalam rancangan pembiayaan ontop bagi penyediaan dana pendamping/penunjang PHLN di daerah, secara keseluruhan terdapat 23 proyek PPWT berbantuan luar negeri yang akan dilaksanakan secara tersebar di 23 propinsi pada TA 1997/98 mendatang.
Dalam rangka lebih meningkatkan kinerja pengelolaan PPWT berbantuan luar negeri yang sangat membutuhkan keterpaduan dan koordinasi secara lintassektoral dan lintaslembaga serta lintasadministratif, diperlukan suatu upaya terobosan dan penyempurnaan yang meliputi:
IDENTIFIKASI MASALAH DAN PEMECAHANNYA
Berdasarkan pembahasan atas kondisi saat ini, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, dilakukan identifikasi atas permasalahan yang ada saat ini yang menyebabkan belum tercapainya kondisi-kondisi yang diinginkan, seperti yang dikemukakan sebelumnya.
Masalah utama yang dapat mengakibatkan rendahnya hasilguna dan dayaguna pengelolaan Program Pengembangan Wilayah (PPW) di daerah adalah belum adanya keterpaduan dan koordinasi dalam pengelolaan PPW di daerah, khususnya dalam pengelolaan PPWT yang berbantuan luar negeri.
Penyebab dari timbulnya masalah utama dapat ditemukenali dalam 4 (empat) masalah pokok, yaitu:
Dalam upaya untuk mewujudkan suatu juklak dan juknis pengelolaan dan pengendalian PPWT di tingkat pusat dan daerah, permasalahan yang dihadapi dapat ditemukenali sebagai berikut:
PENCAPAIAN SASARAN YANG DIHARAPKAN
Salah satu sasaran yang diharapkan dalam rangka mewujudkan keterpaduan dan koordinasi yang baik dalam pengelolaan PPWT di daerah dan pusat, adalah tersusunnya suatu juklak dan juknis baku bagi pedoman pengelolaan dan pengendalian PPWT di daerah dan pusat.
Sasaran itu diharapkan dapat dicapai melalui antara lain:
Melalui penerapan suatu model/pola pengelolaan PPW yang terpadu dan komprehensif, dengan didasarkan pada uraian pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: