PENJELASAN
PROGRAM DAN PROYEK
DEPARTEMEN
DALAM NEGERI DALAM REPELITA VI
SASARAN PROGRAM
PEMBANGUNAN DEPDAGRI
1. Secara
keseluruhan, DIP Depdagri dalam Repelita VI mencakup 9 sektor pembangunan,
15 subsektor, dan 23 program pembangunan, yang dijabarkan ke dalam proyek-proyek
pembangunan yang dilaksanakan oleh delapan komponen Departemen Dalam Negeri
yang terdiri dari: (i) Sekretariat Jenderal (Setjen), (ii) Inspektorat
Jenderal (Itjen), (iii) Ditjen Sosial Politik (Sospol), (iv) Ditjen Pemerintahan
Umum dan Otonomi Daerah (PUOD), (v) Ditjen Pembangunan Masyarakat Desa
(PMD), (vi) Ditjen Pembangunan Daerah (Bangda), (vii) Badan Pendidikan
dan Latihan (Badiklat), dan (viii) Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang).
2. Sasaran
umum yang akan dicapai melalui pelaksanaan program-program pembangunan
tersebut terutama diarahkan untuk memantapkan pelaksanaan demokrasi Pancasila,
mempercepat pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan wilayah/daerah,
meningkatkan peranserta aktif masyarakat dalam proses pembangunan dan dapat
memperkuat serta meningkatkan kemampuan aparat dan kelembagaan pemerintah
daerah, baik di tingkat I maupun tingkat II, dalam rangka mengisi otonomi
daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab.
3. Untuk
mencapai sasaran umum tersebut, pelaksanaan program pembangunan pada Repelita
VI juga ditekankan pada peningkatan kuantitas dan kualitas aparatur serta
kelembagaan Departemen Dalam Negeri baik di pusat maupun jajarannya di
daerah, terutama di dalam menunjang kegiatan koordinasi perencanaan, monitoring
dan evaluasi serta pembinaan program/proyek pembangunan dalam rangka
meningkatkan efektivitas tugas dan fungsi Depdagri dalam melaksanakan pembinaan
umum pemerintahan dan pembangunan di daerah.
KEGIATAN
DALAM PENCAPAIAN SASARAN PROGRAM REPELITA VI
1. Secara
keseluruhan, jumlah proyek (kegiatan) yang dilaksanakan selama Repelita
VI sebanyak 39 – 105 proyek, yang dalam empat tahun Repelita VI ini telah
dilakukan penyederhanaan jumlah proyek yang dilaksanakan dari tahun ke
tahun, yaitu secara berurutan dari 105 DIP pada TA 1994/95 menjadi 90 DIP
pada TA 19995/96, kemudian menurun lagi menjadi 70 DIP pada TA 1996/97,
pada TA 1997/98 menjadi sebanyak 43 proyek, dan pada TA 1998/99 mendatang
sebagai tahun terakhir Repelita VI disederhanakan kembali hingga tinggal
sebanyak 39 DIP.
2. Penyederhanaan
jumlah proyek dalam Repelita VI ini terutama dikarenakan adanya penggabungan
(regrouping) dari beberapa proyek dalam satu program pembangunan dan instansi
pelaksana yang sama, walaupun di lain pihak diusulkan pula beberapa proyek
baru yang merupakan perluasan dan pendalaman dari proyek-proyek yang dilaksanakan
terutama dalam kaitannya dengan proyek-proyek berbantuan luar negeri.
3. Penyesuaian
jumlah proyek yang akan dilakukan selama ini terutama dimaksudkan untuk
lebih meningkatkan dayaguna dan hasilguna kegiatan yang dilaksanakan Departemen
Dalam Negeri, dengan pertimbangan bahwa secara umum, program kegiatan yang
dilaksanakan Departemen Dalam Negeri dalam Repelita VI merupakan kelanjutan
dan pendalaman pelaksanaan kegiatan koordinasi, pembinaan, pemantauan,
dan pengendalian kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di daerah, baik
oleh instansi vertikal pusat maupun oleh instansi otonom perintah daerah.
4. Walaupun
terjadi penyederhanaan jumlah kegiatan yang akan dilaksanakan dalam Repelita
VI, alokasi APBN Depdagri dalam Repelita VI mengalami peningkatan yang
cukup berarti dari tahun ke tahun, dengan perincian: TA 1994/95 sebesar
Rp40.476 juta, TA 1995/96 sebesar Rp44.411 juta, TA 1996/97 sebesar Rp52.310
juta, dan TA 1997/98 sebesar Rp53.870 juta, yang berarti secara rata-rata
menunjukkan kenaikan sebesar 23,35% dalam empat tahun Repelita VI ini.
5. Selain
dari kegiatan koordinasi, pembinaan, pemantauan, dan pengendalian pelaksanaan
kegiatan yang dilaksanakan di daerah yang mencirikan sebagian besar kegiatan
Depdagri, juga akan dilaksanakan beberapa kegiatan lainnya seperti: pengembangan
sumber daya aparatur Depdagri pusat maupun pemerintah daerah (diklat),
pengembangan sistem informasi pembangunan daerah, pengembangan kegiatan
penelitian dan pengembangan (litbang) pemerintahan dan pembangunan daerah,
serta pengembangan prasarana dan sarana aparatur Depdagri di daerah.
6. Untuk
beberapa kegiatan lainnya yang terkait dengan dana hibah/bantuan luar negeri,
telah dialokasikan dana yang memadai sebagai 'counterpart budget' atas
dana PHLN tersebut. Secara keseluruhan, jumlah kegiatan yang berbantuan
luar negeri dalam DIP Depdagri pada Repelita VI sebanyak 10 proyek, yang
umumnya terkait dengan kegiatan pengkajian dan pengembangan potensi pembangunan
daerah, dengan jumlah perkiraan penarikan BLN sebesar Rp35.615,0 juta.
KETERKAITAN
YANG DIKEMBANGKAN DALAM DIP DEPDAGRI
1. Mengingat
beragam dan banyaknya program pembangunan yang dilaksanakan komponen Depdagri
dalam Repelita VI ini, maka keterkaitan yang dikembangkan juga banyak dan
beragam, baik keterkaitan yang bersifat lintasprogram (lintassektor) maupun
keterkaitan yang bersifat lintaslembaga (lintasdepartemen).
2. Keterkaitan
lintassektor dan lintaslembaga tersebut, secara nyata tercermin dari kegiatan
koordinasi yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri, khususnya dalam
kaitannya dengan kegiatan pembangunan sektoral yang dilaksanakan secara
terpadu di daerah. Sedangkan khususnya untuk pelaksanaan beberapa
kegiatan lainnya seperti penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan
pelatihan juga memiliki keterkaitan yang erat dengan instansi/lembaga terkait
lainnya dalam kegiatan litbang dan diklat.
3. Selain
koordinasi dan kerjasama dengan instansi pemerintah lain yang ada di pusat,
melalui kegiatan pembinaan, pemantauan dan pengendalian, kegiatan yang
dilakukan Departemen Dalam Negeri juga terkait baik dengan instansi vertikal
pemerintah pusat yang ada di daerah maupun dengan instansi otonom pemerintah
daerah. Hal ini terutama tercermin pada kegiatan dalam program penyelenggaraan
otonomi daerah.
4. Selain
itu, beberapa kegiatan dalam Program Pembinaan Politik Dalam Negeri juga
memiliki keterkaitan dengan lembaga legislatif baik di pusat (DPR) maupun
daerah (DPRD), serta terkait pula dengan pembinaan dan pengendalian lembaga
kemasyarakatan seperti orsospol, ormas, dan LSM.
KINERJA DIP
DEPDAGRI DALAM REPELITA VI
1. Arahan
penilaian dan pembahasan DUP menegaskan bahwa SARLITA merupakan acuan utama
dalam penyusunan DUP dari masing-masing instansi. Khususnya untuk
Departemen Dalam Negeri, saat ini telah dimiliki dokumen SARLITA sektoral
(SS) yang terkait dengan tugas dan koordinasi Depdagri. Namun demikian
pada dua tahun pertama Repelita VI, terdapat hambatan dalam penilaian DUP
yang disebabkan oleh karena belum diselesaikannya penyusunan SARLITA Sektoral
Depdagri, yang terutama disebabkan oleh dua kendala pokok:
(i) Masih
sebagian besar propinsi belum menyelesaikan SARLITA regionalnya (SR), yang
akan dijadikan acuan bagi penyusunan SARLITA sektoral (SS) Depdagri;
(ii) Adanya
penyesuaian SARLITA yang telah disusun oleh Depdagri pada TA 1994/95
yang meliputi 10 sektor, menjadi 3 sektor utama yang dikoordinasikan penyusunannya
(merupakan tanggung jawab utama) dari Depdagri, yaitu SARLITA sektor: (a)
pembangunan daerah, (b) politik dalam negeri, dan (c) aparatur pemerintah,
sedangkan untuk 6 sektor terkait lainnya yang penyusunan SARLITAnya dikoordinasikan
oleh departemen/LPND lain dijadikan suplemen terhadap dokumen SARLITA yang
akan disusun oleh Depdagri;
(iii) Beberapa
komponen di Depdagri belum dapat menyelesaikan konsep SARLITA sektoralnya
mengingat luasnya keterkaitan antarsektor, subsektor, dan program dalam
kegiatan yang dilaksanakan Depdagri.
2. Selain
itu, upaya alternatif lain yang dilakukan adalah dengan menyusun format
penjelasan DUP (pra-DUP) Depdagri per proyek dan bagian proyek, yang menjelaskan
tujuan, sasaran kegiatan, tolok ukur, target fisik, dan jumlah dana per
tolok ukur kegiatan. Melalui format tersebut dapat ditunjukkan upaya pencapaian
sasaran kegiatan dan target fisik dari masing-masing proyek dan bagian
proyek, khususnya pada setiap tahun anggaran dalam Repelita VI.
3. Berdasarkan
perkembangan APBN selama lima tahun Repelita VI, diketahui bahwa terdapat
empat program pembangunan yang mengalami kenaikan cukup besar (tabel terlampir),
yaitu:
-
Program Pembinaan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebesar 54,7%, yang terutama ditunjukkan
untuk penyediaan dana pendamping PHLN bagi 2 proyek ber-BLN yang baru di
lingkungan Ditjen Bangda, yaitu Kerinci Seblat ICDP (Loan IBRD) dan Segara
Anakan CDP (loan ADB).
-
Program Pendidikan
dan pelatihan aparatur negara, sebesar 102,1%, yang terutama akan dipergunakan
untuk meningkatkan kualitas sumber daya aparatur pemerintah daerah di dati
I dan dati II, serta sekaligus diperuntukkan bagi pelatihan pelatih (ToT)
dalam rangka penyusunan dan pemantapan SARLITA regional dan daerah di dati
I dan dati II.
-
Program pembinaan
politik dalam negeri, naik sebesar 63,3%, yang terutama ditunjukkan dengan
disediakannya anggaran bagi kegiatan pemantapan stabilitas politik daerah
pada Direktorat Sospol dan Mawil Hansip di 27 propinsi se-Indonesia (merupakan
bagpro pada proyek Peningkatan Dayaguna Pengendalian Stabilitas Politik
Dalam Negeri).
-
Program penyelenggaraan
otonomi daerah, naik sebesar 63,3%, yang terutama untuk mendukung pemantapan
uji coba pelaksanaan otonomi daerah pada 26 daerah tingkat II percontohan,
serta penyediaan dana pendamping bagi beberapa proyek ber-BLN yang dikelola
oleh Ditjen PUOD dan daerah.
ISYU PELAKSANAAN
PROGRAM DEPDAGRI DALAM REPELITA VI
1. Selama
perjalanan empat tahun Repelita VI ini, terdapat beberapa isyu yang dihadapi
dalam menjabarkan program pembangunan yang dikelola dalam lingkup Departemen
Dalam Negeri. Isyu pokok yang dapat dikemukakan disini antara lain
terkait dengan aspek: (a) koordinasi internal lintaskomponen Depdagri;
(b) pembinaan dan pengendalian program secara vertikal dengan Pemerintah
daerah; dan (c) fungsi kelembagaan dan struktur organisasi.
2. Aspek
Koordinasi internal lintas komponen Depdagri.
-
Koordinasi program
yang selama ini dilakukan oleh Setjen cq. Biro Perencanaan masih sangat
lemah dan belum berjalan sebagaimana diharapkan. Masalah itu terutama
ditunjukkan dengan fungsi Biro Perencanaan yang relatif hanya seperti "kantor
pos" dalam penyampaian aspirasi komponen Depdagri terkait, tanpa adanya
"justifikasi" atau "penilaian" terhadap aspirasi yang disampaikan komponen,
terutama yang terkait dengan pengajuan DUP kepada Bappenas.
-
Salah satu penyebab
yang cukup menonjol adalah "sibuknya" Biro Perencanaan untuk melaksanakan
proyek-proyek yang langsung dikelola bagian/sub-bagian di bawah Biro Perencanaan,
sehingga tidak sempat lagi dalam menjalankan fungsinya sebagai unit kerja
di bawah Setjen yang bertugas mengkoordinasikan seluruh program pembangunan
(termasuk bantuan luar negeri) di lingkungan Depdagri secara keseluruhan.
Walaupun DIP yang berada di bawah Biro Perencanaan telah secara bertahap
sangat dikurangi, namun dengan alasan bahwa DIP koordinasi tetap diperlukan,
sehingga masih terdapat 5 DIP "koordinasi" yang dikelola langsung oleh
Biro Perencanaan.
-
Selain itu,
kurang kompetennya pejabat yang ditunjuk sebagai kepala biro atau kepala
bagian atau kepala subbagian di Biro Perencanaan, yang seharusnya telah
teruji dan handal dalam melakukan koordinasi secara lintaskomponen Depdagri.
Dari pengamatan selama ini, terlihat sekali bahwa keberadaan mereka sangat
kurang di"hargai" oleh mitra kerjanya di masing-masing komponen, masing-masing
secara berurutan Sekditjen, Kabag Perencanaan, dan Kasubag Program.
Selama ini, masing-masing pejabat ditiap komponen lebih memilih untuk melakukan
koordinasi dan konsultasi secara langsung dengan pihak eksternal Depdagri
terkait, khususnya dengan Bappenas dan Departemen Keuangan, walaupun prosedur
"satu pintu" telah mereka pahami.
-
Lebih jauh lagi,
selama ini juga ditemui beberapa permasalahan yang terkait dengan ketidakjelasan
penanggung jawab program. Hal ini terutama ditunjukkan dengan adanya
tendensi "mem-biro perencanaan-kan" kegiatan proyek, dengan alasan koordinasi
lintaskomponen. Pada umumnya, proyek-proyek sejenis ini akhirnya
sama sekali tidak mencerminkan koordinasi lintaskomponen dan lebih cenderung
untuk menjadi proyek "milik" biro perencanaan. Walaupun, komponen
terkait masih diberi kesempatan sebagai "bagpro" dari proyek yang bersangkutan,
namun koordinasi program kegiatannya sama sekali tidak terwujud dan cenderung
berjalan sendiri-sendiri.
-
Selanjutnya,
khususnya dalam hubungannya dengan koordinasi yang dilakukan untuk bantuan
luar negeri, walaupun telah dibentuk bagian kerjasama luar negeri di Biro
Perencanaan (Kepmendagri No. 92 Tahun 1992), namun hingga saat ini hanya
berfungsi setiap tahunnya dalam penyusunan Buku Biru Bappenas sekedar sebagai
kantor pos untuk menyampaikan usulan komponen Depdagri terkait, atau dalam
pemrosesan izin tugas ke luar negeri ke Kantor Setkab. Masalah yang
paling perlu ditanggulangi di bagian ini adalah tidak dimilikinya sama
sekali data dan informasi pelaksanaan kerjasama luar negeri di lingkungan
Depaagri dan daerah. Dengan tidak dimilikinya "database" tersebut,
mereka tidak berupaya untuk melakukan koordinasi dengan komponen Depdagri
terkait yang melaksanakan BLN, namun belakangan ini mereka bahkan meminta
data tersebut ke Bappenas untuk keperluan laporan kepada Sekjen.
-
Masih terkait
dengan koordinasi program, selain DIP APBN dan BLN, untuk program Inpres
dan SDO yang didesentralisasikan ke daerah, Biro Perencanaan sama sekali
tidak pernah melakukan koordinasi dengan komponen Depdagri terkait, terutama
Ditjen Bangda dan Ditjen PMD (untuk Inpres) serta Ditjen PUOD (untuk SDO).
Sebenarnya dengan diterbitkannya Kepmendagri No. 73 Tahun 1995 tentang
koordinasi program di lingkungan Depdagri, hal-hal tersebut telah secara
tegas dikoordinasikan oleh Setjen cq. Biro Perencanaan, namun menyataannya
sama sekali tidak seperti yang telah ditetapkan.
-
Oleh sebab itu,
sebagai kesimpulan, dalam rangka lebih mendayagunakan koordinasi lintaskomponen
secara internal Depdagri dan eksternal dengan pemerintah daerah, sebenarnya
dapat ditinjau kembali keberadaan dari Kepmendagri No. 73 Tahun 1995 tersebut
untuk dapat dijadikan acuan bersama dalam peningkatan kinerja koordinasi
program pembangunan Depdagri secara lebih berdayaguna dan berhasilguna.
3. Aspek pembinaan
dan pengendalian program secara vertikal dengan Pemda
-
Sesuai dengan
peraturan perundangan, Depdagri berperanan dalam pembinaan umum pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.
Dalam penjabarannya, pembinaan dan pengendalian tersebut dilakukan oleh
seluruh komponen yang ada di Depdagri sesuai dengan tugas dan fungsinya
masing-masing.
-
Namun demikian,
pada kenyataannya masih terjadi tumpang tindih atau ketidak konsistenan
antara pembinaan dan pengendalian yang dilakukan oleh satu komponen dengan
komponen lainnya, atau adanya pembinaan dan pengendalian yang tidak sejalan
dengan peraturan perundangan yang berlaku.
-
Dapat dikemukakan
disini kasus yang terjadi dalam pembinaan dan pengendalian yang dilakukan
kepada Pemerintah Daerah dalam penyusunan APBD misalnya. Secara mekanisme,
perencanaan penyusunan RAPBD dilakukan sejak tahapan perencanaan dari tingkat
desa hingga tingkat nasional, yang selanjutnya setelah dihitung perkiraan
penerimaan dan pengeluarannya, termasuk dari subsidi dan bantuan Pusat
(Inpres dan SDO), dirumuskan dalam RAPBD. Sejak dari proses perencanaan
dari awal hingga terbitnya alokasi bantuan Pusat (Inpres) guna penyusunan
RAPBD, biasanya dibina dan dikendalikan oleh Ditjen Bangda, namun pada
saat pengesahan APBD yang lebih dominan berperan adalah Ditjen PUOD.
Sehingga terkadang sering terjadi inkonsistensi antara petunjuk yang disusun
DJ Bangda dengan yang ditetapkan DJ PUOD.
-
Inkonsistensi
ini juga tercermin sampai saat ini dalam hal nomenklatur APBD, yang sebenarnya
sejak dua tahun terakhir ini telah dimohonkan oleh Bappenas untuk dapat
dikonsistenkan dengan nomenklatur APBN agar terwujud suatu kesesuaian dan
keterpaduan di dalam perencanaan program pembangunan secara lintassumber
pembiayaan yang dilaksanakan di daerah. Hingga pada terbitnya Permendagri
No. 1 Tahun 1998 tentang pedoman Penyusunan APBD yang dibidani oleh DJ
PUOD, upaya untuk menyeragamkan nomenklatur APBN da APBD masih belum dapat
didukung oleh Depdagri, walaupun Bapak Meneg PPN/Ketua Bappenas sebenarnya
telah menyampaikan himbauan ini pada saat memberikan pengarahan Konasbang
1996 yang lalu.
-
Selain itu,
dalam hubungannya dengan pembinaan dan pengendalian dalam bentuk lainnya,
terdapat beberapa kasus yang cukup penting untuk dikemukakan.
Kasus yang dikemukakan disini terutama terkait dengan masalah inkonsistensi
dengan peraturan perundangan serta kesepakatan yang berlaku. Seperti
dalam penerbitan Inmendagri No. 3 Tahun 1995 tentang penyertaan dana daerah
untuk menunjang program pembangunan Depdagri di daerah, sangat nyata terlihat
bahwa Pemda diinstruksikan untuk menyediakan dana APBD-nya masing-masing
untuk mendukung program-program Depdagri yang dilaksanakan di daerah dan
dikelola oleh masing-masing komponen di Depdagri Pusat. Sebagaimana
dituangkan dalam Inmendagri 3/95 tersebut, program kegiatan yang harus
didukung dana APBD terbagi ke dalam delapan program pokok (yang sesuai
dengan jumlah komponen di Depdagri), yaitu tata laksana (Setjen), pengawasan
(Itjen), sospol, bangda, otonomi, bangdes, diklat, dan litbang.
-
Inmendagri No.
3 Tahun 1995 jo. Inmendagri No. 3A/1995 tersebut, yang selanjutnya dijabarkan
oleh masing-masing komponen yang "sangat tanggap" ke dalam peraturan turunannya.
Seperti Litbang dengan Kepmen 167/96 dan Inmen 28/96 yang menginstruksikan
kepada seluruh daerah tingkat I dan dati II untuk mengalokasikan 1 persen
dari dana APBD-nya bagi kegiatan penelitian, yang pelaksanaannya dikerjasamakan
dengan Balitbang Depdagri.
-
Selain itu,
banyak lagi peraturan dan instruksi lainnya yang merupakan tindak lanjut
dari Inmendagri 3/95 tersebut. Beberapa yang cukup menonjol adalah
Inmendagri 1/95 dan Inmendagri 2/95 tentang penyertaan dana APBD untuk
pembangunan STPDN Jatinangor, walaupun dalam DIP sektoral APBN juga dialokasikan
dana yang sama. Lebih jauh lagi, yang cukup menghebohkan yaitu Inmendagri
No. 5A tahun 1995 jo. Inmendagri No. 31A tahun 1996 tentang penyertaan
dana daerah untuk pembangunan SISKOMDAGRI (Sistem Komunikasi Depdagri).
-
Khususnya untuk
Inmen 5A/95 untuk pembangunan SISKOMDAGRI tersebut, dalam rancangan awalnya
selama lima tahun (1995/96 s/d 2000/01) seluruh dati II diwajibkan untuk
menyetor ke Pusat sebesar Rp50,0 juta setiap tahunnya dan untuk dati I
kisarannya antara Rp650 juta (Jatim) dan Rp100 juta (Timtim). Namun
selanjutnya dengan alasan perlunya percepatan pembangunan SISKOMDAGRI tersebut
dalam Repelita VI ini, maka melalui Inmendagri 31A/1996 diinstruksikan
kepada seluruh kepala daerah untuk membayar sisa 3 tahun anggaran pembangunan
SISKOMDAGRI ke Depdagri Pusat (rekening Mendagri di kantor BRI Cabang Veteran),
sehingga tiap dati II harus menyetor sebesar Rp150 juta dan dati I berkisar
antara Rp300 juta hingga lebih dari Rp2 miliar.
-
Selain beberapa
kasus di atas, masih banyak lagi arahan-arahan ya gditerbitkan secara sporadis
dan tidak terkoordinasi kepada Pemda untuk menyediakan dana APBD-nya bagi
menunjang kegiatan tertentu yang di"pesan"kan Depdagri, seperti dalam memantapkan
sistem MAPATDA (manual pendapatan daerah) dimana daerah harus mengalokasikan
sekitar Rp250 juta setahun, dan untuk menggalakkan pengembangan dan penerapan
teknologi di daerah telah di"himbau" masing-masing daerah untuk menyediakan
Rp100 - 200 juta setahun.
-
Dari beberapa
contoh kasus di atas, sudah barang tentu arahan dan petunjuk Pusat tersebut
sangat memberatkan pihak daerah, yang nampaknya tidak memiliki pilihan
lain untuk tidak melaksanakannya, walaupun ada juga beberapa daerah yang
memberanikan diri untuk tidak mengikuti petunjuk Pusat tersebut dengan
secara obyektif menilai efektivitas dari dana yang mereka alokasikan dari
APBD-nya masing-masing. Seperti untuk SISKOMDAGRI yang rancangan awalnya
membutuhkan dana sebesar Rp126 miliar, hingga saat ini sama sekali belum
terlihat wujudnya dan berfungsi, walaupun sebagian besar dananya sudah
terkumpul.
-
Dengan demikian,
sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa beberapa petunjuk dan arahan
Pusat kepada daerah tersebut perlu ditinjau kembali atau ditertibkan lebih
lanjut. Lebih jauh lagi, yang paling perlu ditinjau kembali adalah dayaguna
dan hasilguna dari penyertaan dana daerah kembali ke Pusat tersebut, seperti
halnya yang ditemui pada kasus SISKOMDAGRI di atas. Peran Depdagri selaku
pembinaan umum pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di daerah sangat
perlu untuk diluruskan dan dimantapkan, tanpa harus melakukan intervensi
kekuasaan semacam yang telah dilakukan sebelumnya.
4. Aspek fungsi
kelembagaan dan struktur organisasi
-
Kepmendagri
No. 92 tahun 1992 tentang struktur organisasi Depdagri, sebenarnya sejak
tiga tahun terakhir ini sedang diupayakan perubahan dan penyempurnaannya,
dengan mempertimbangkan dinamika tugas dan fungsi Depdagri yang semakin
berkembang dan luas. Namun dengan sangat beragamnya aspirasi dari
bawah dan ketidakmampuan koordinasi yang dilakukan oleh Biro ORTALA untuk
dapat mengakomoasikan aspirasi yang beragam tersebut, maka hingga saat
ini rencana perbaikan Kepmen tersebut masih belum dapat diselesaikan.
Belum lagi apabila menyinggung soal siapa yang bertanggung jawab untuk
menyusun penyempurnaan Kepmen tersebut, khususnya antara Biro ORTALA dan
Badan Litbang, yang masing-masing mengaku telah memperoleh "restu" dari
Mendagri untuk mengkoordinasikan kegiatan tersebut. Kepala Badan
Litbang yang sekarang adalah mantan Karo ORTALA di Setjen. Dengan
masih adanya dualisme koordinator tersebut, rancangan penyempurnaan Kempen
Organisasi Depdagri belum diselesaikan hingga sekarang.
-
Ditinjau dari
kebutuhan, sebenarnya sangat tepat untuk dilakukan evaluasi dan peninjauan
kembali terhadap kinerja kelembagaan Depdagri secara keseluruhan, sebelum
selanjutnya melakukan perubahan atau penyempurnaan terhadap struktur yang
ada. Seperti dalam hal jumlah eselon II atau eselon III di dalam
komponen Depdagri, yang beragam tergantung dari tupoksi yang diemban masing-maing
unit kerja. Namun demikian, dalam rangka penyempurnaan struktur organisasi
sangat perlu dilihat kepentingannya dalam jangka panjang dan tidak sekedar
hanya untuk dapat mengakomodasikan dan melestarikan aspirasi yang berorientasi
keproyekan (project oriented). Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa,
korelasi antara aspirasi proyek dengan struktur organisasi (terutama di
level eselon III dan IV) masih sangat kentara. Seperti contohnya,
susbdit PKT di Ditjen PMD dibentuk setelah munculnya program pengembangan
kawasan terpadu (PKT) yang dikoordinasikan Ditjen PMD, atau usulan dari
DJ Bangda untuk membentuk direktorat kelautan (eselon II baru) dengan pertimbangan
proyek-proyek kelautan yang telah semakin berkembang di daerah yang perlu
untuk dibina dan kendalikan lebih lanjut.
-
Selanjutnya,
dikaitkan dengan faktor sumber daya manusia (SDM), baik kualitas maupun
sebarannya, dapat dikemukakan disini bahwa terlihat adanya ketimpangan
yang cukup besar antarkomponen di Depdagri. Faktor kualitas SDM ini
dilihat dari tingkat pendidikan yang telah dicapai dan pengalaman yang
telah diperoleh. Dari kedelapan komponen yang ada, tampak bahwa faktor
SDM yang dimiliki Ditjen Bangda merupakan yang terbaik kualitasnya dengan
jumlah SDM sarjana strata 2 yang terbanyak. Sementara di Ditjen PUOD lebih
menonjol SDM yang berorientasi pada pengalaman lapangan, terutama pada
level eselon II dan III yang biasanya pernah bertugas sebagai pamong/pejabat
di daerah. Perkecualian adalah untuk Badan Litbang, yang walaupun telah
diperkuat oleh tiga orang doktor (S-3), namun pada umumnya para penelitinya
adalah para mantan pejabat dibawah eselon II dari pusat dan daerah yang
ingin terus mengabdi sebagai fungsional peneliti. Sedangkan untuk
komponen lainnya, pada umumnya kualitas SDM-nya rata-rata, yang hanya berorientasi
pada bidang kerjanya masing-masing.
-
Ditinjau dari
aspek tugas pokok dan fungsi (tupoksi) kelembagaan dan bidang pekerjaan
yang ditangani, masih ditemui beberapa kasus yang menunjukkan kurangnya
koordinasi dan interaksi antara satu dengan yang lain, dikarenakan mereka
berjalan sendiri-sendiri, sehingga sering ditemui duplikasi dan kontradiksi
serta inkonsistensi. Dalam hal ini fungsi koordinatif dari Setjen cq. biro-biro
di bawahnya sangat diperlukan terhadap bidangnya masing-masing. Seperti
dalam program pengembangan kawasan khusus misalnya, oleh DJ Bangda, DJ
PUOD dan DJ PMD, dengan koordinasi yang dilakukan oleh Biro Perencanaan.
Dalam prakteknya, koordinasi tersebut belum berjalan sehingga masing-masing
berusaha untuk menjabarkan aspirasinya sendiri secara parsial. "Kotak-kotak"
tersebut tidak hanya ditemui pada level eselon I atau eselon II, namun
juga ditemui pada level eselon III dan IV yang sangat berorientasi pada
proyek/program yang dilaksanakan ('project-driven organization').
-
Lebih lanjut,
dikaitkan dengan etos kerja yang berorientasi pada karir, tradisi yang
memungkinkan di lingkungan Depdagri adalah adanya 'tour of duty' dari daerah
ke tingkat pusat yang pada umumnya berupa promosi. Dengan adanya
tradisi tersebut, terkadang menyebabkan adanya friksi antara "orang daerah"
dengan "orang pusat", baik secara horizontal diantara pejabat setingkat
maupun secara vertikal khususnya dalam hubungan antara atasan dan bawahan.
Selain itu, mobilitas staf/pejabat pada level eselon II dan III juga cukup
banyak ditemui di Depdagri, baik yang sifatnya promosi maupun mutasi internal
dan eksternal dalam lingkungan Depdagri. Kondisi ini sedikit banyak
akan mempengaruhi kinerja dari unit kerja yang ada serta profesionalisme
dari staf/pejabat yang ditugaskan. Profesionalisme yang sangat dipengaruhi
oleh pengalaman kerja pada bidang tertentu tersebut, sudah barang tentu
sangat berbeda dengan sistem milter yang telah disiapkan dan selalu siap
untuk dipindahkan dan dimutasikan.
-
Komposisi pimpinan
Depdagri saat ini menunjukkan konfigurasi sebagai berikut:
-
Pejabat eselon
I, terbagi menjadi pegawai karir dan non-karir Depdagri, dengan pembagian:
(a) pejabat karir Depdagri: Dirjen Bangda, Kepala Badiklat, Kepala Balitbang;
(b) pejabat non-karir Depdagri: Dirjen Sospol (ABRI), Irjen (ABRI), Sekjen
(ABRI/daerah), Dirjen PUOD (daerah), dan Dirjen PMD (daerah); dan (c) staf
ahli Mendagri: tiga orang merupakan pejabat karir Depdagri dan dua orang
mendapatkan promosi dari daerah.
-
Pejabat eselon
II, juga menunjukkan keberagaman status dan instansi asal, dengan komposisi
yang masih didominasi oleh pejabat karir dari Depdagri pusat.
-
Beberapa posisi
pimpinan atau executif kunci di Depdagri saat ini masih mengalami kekosongan
atau dalam proses untuk pergantian, seperti halnya pada formasi jabatan:
(a) Karo Perencanaan (pensiun, sementara masih menjabat, menunggu SK widyaiswara);
(b) Sekditjen PUOD (masih menjabat, akan dipromosikan eselon I/Sekwilda
Irja); (c) Sekditjen Bangda (telah diangkat menjadi Wagub Sulut, sementara
Plt. oleh Direktur Bangkota DJ Bangda); (d) Direktur Bina Program DJ Bangda
(kosong, sementara Plt. dijabat Kabag Perencanaan DJ Bangda); (e) Direktur
Prasarana & Sarana Desa (pensiun, kosong, Plt. dijabat oleh Sekditjen
PMD).
5. Dengan demikian,
ditinjau dari beberapa aspek penentu kinerja Depdagri dalam pengelolaan
program pembangunan di atas, maka dalam rangka menyongsong Repelita VII
yang akan datang sangat diperlukan beberapa upaya sebagai berikut:
-
Penyempurnaan
Kepmendagri No. 92 Tahun 1992 tentang struktur organisasi dan sekaligus
tugas pokok dan fungsi dari masing-masing komponen Depdagri terkait, yang
didasarkan pada evaluasi dan tinjauan atas kinerja yang ada selama ini
dan sekaligus disesuaikan dengan dinamika pembangunan yang pesat.
-
Peninjauan kembali
dan sekaligus penertiban berbagai terhadap petunjuk dan arahan yang diterapkan
selama ini, yang dirasakan tidak relevan dan konsisten dengan peraturan
perundangan yang berlaku umum. Hal ini sangat mendesak untuk diberlakukan
pada beberapa petunjuk dan arahan yang sangat memberatkan pihak daerah.
-
Peningkatan
kualitas dan sebaran sumber daya manusia secara lebih proporsional dan
merata antarkomponen di lingkungan Depdagri, dengan tetap mempertahankan
tradisi yang dapat menggabungkan antara pengalaman profesi dengan kemampuan
akademis.
-
Koordinasi perlu
lebih diwujudkan secara nyata dengan mengacu kepada peraturan yang ada,
khususnya Kepmendagri 73/1995 atau peraturan penyempurnaannya, guna dapat
meningkatkan dayaguna dan hasilguna fungsi koordinasi lintaskomponen secara
internal dan lintaslembaga secara eksternal, yang dilekatkan pada unit
kerja tertentu yang telah ditetapkan.
go
home!
go
back