EVALUASI
PROSES
PERENCANAAN PUA/PIA
DALAM
RANGKA MANAJEMEN KHPPIA DI DAERAH
PROGRAM
KERJASAMA RI-UNICEF 1995-2000
RINGKASAN
/ SUMMARY
Arah
dan Tujuan
Evaluasi ini bertujuan memberi masukan dan
rekomendasi untuk Mid-term Review Program Kerjasama RI-UNICEF 1995-2000,
mengenai KHPPIA (Kelangsungan Hidup, Perkembangan, Perlindungan Ibu
dan Anak), yang akan dilaksanakan pada pertengahan tahun 1998, di Jakarta.
Tujuan khususnya adalah mengkaji sejauh mana
proses perencanaan PUA/PIA (Paket Usulan Area / Paket Informasi Area)
telah mencapai sasarannya, baik sebagai model perencanaan KHPPIA maupun
sebagai upaya penguatan kapasitas aparat di daerah.
Ruang
Lingkup dan Metoda
Evaluasi ini mengambil sampel tiga propinsi,
dari tujuh yang melaksanakan kerjasama, yaitu: Jawa Barat, Sulawesi
Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Sedangkan rentang waktu yang
dikaji adalah dua tahun anggaran terakhir, yaitu 1996/97 dan 1997/98.
Evaluasi dilaksanakan dengan dua metoda,
yaitu pengkajian dokumen dan kunjungan lapangan. Pelaksanaannya
memakan waktu empat bulan (Januari-Mei1998), yang diisi dengan 26 kali
pertemuan/diskusi yang melibatkan 93 orang nara sumber dari berbagai
instansi yang terkait dengan koordinasi KHPPIA.
Pengertian
KHPPIA dan PUA/PIA
KHPPIA merupakan pola pikir atau filosofi
yang melandasi Program Kerjasama RI-UNICEF selama lima tahun (1995-2000)
untuk mendukung pembangunan SDM di tujuh propinsi terpilih, yaitu: Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Selatan, dan Timor Timur. Tujuan akhir yang hendak
dicapai adalah menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Anak
Balita (AKAB), Angka Kematian Ibu (AKI), dan kekurangan gizi yang tercermin
pada angka Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di daerah bersangkutan.
Untuk mencapai tujuan di atas, ditetapkanlah
tiga Komponen Kegiatan utama, yaitu: (1) Penyampaian Pelayanan Sosial
Dasar; (2) Pemberdayaan Masyarakat; dan (3) Pengembangan Kapasitas
Manajemen Pemerintah Daerah.
Selanjutnya, ketiga komponen tersebut dijabarkan
ke dalam 14 sub-komponen yang lebih teknis, seperti: Kesehatan Ibu dan
Neonatal, Pengembangan Program Imunisasi, Perbaikan Pola Makan Ibu dan
Anak, Penyediaan Air Bersih dan Penyehatan Lingkungan, dan seterusnya.
Untuk merealisasikan program KHPPIA ke dalam
rencana tahunan, maka selain mengacu pada mekanisme P5D (Pedoman Penyusunan
Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah - Permendagri No.
92/1982), RI-UNICEF secara khusus menjalankan proses perencanaan
PUA/PIA, yang dilaksanakan dalam dua tahap.
Pertama, penyusunan usulan kegiatan
pembangunan sosial untuk menjangkau kelompok sasaran tertentu di suatu
wilayah, dibahas secara terpadu (lintas sektoral), kemudian dituangkan
dalam suatu Paket Usulan Area (PUA).
Kedua, setelah melalui pembahasan
berjenjang, maka disusunlah rencana pelaksanaan kegiatan tahunan yang telah
sepakat dibiayai oleh APBN, APBD, maupun hibah UNICEF ke dalam suatu
Paket Informasi Area (PIA).
Dengan kata lain, PUA/PIA adalah integrated
social development planning model yang dibuat untuk merealisasikan
pola pikir KHPPIA. Kinerja dari model perencanaan inilah yang dikaji dalam
evaluasi ini.
Temuan
Temuan dititikberatkan untuk menjawab enam
butir pertanyaan yang berkaitan langsung dengan sasaran PUA/PIA itu
sendiri.
1. Sejauh mana proses perencanaan PUA/PIA
dapat menggali dan memobilisasi dana pemerintah, khususnya APBD I dan APBD
II, dalam mendukung KHPPIA?
Secara teoritik, proses perencanaan PUA/PIA
dapat dikatakan berhasil dalam menggali dan memobilisasi dana pemerintah
(APBD) untuk tujuan KHPPIA. Hal ini dapat dilihat dari kalkulasi PIA di
ketujuh propinsi (1996/97 dan 1997/98), antara lain:
-
Adanya peningkatan total biaya APBD, dari Rp
31,4 milyar menjadi Rp 67,4 milyar.
-
Adanya penurunan share dana UNICEF terhadap
biaya total, dari 20% menjadi 17%.
Namun demikian, evaluasi ini belum dapat
memastikan apakah keberhasilan tersebut benar-benar ditentukan oleh kinerja
PUA/PIA atau karena sebab lain (seperti pengaruh Pemilu 1997 yang "memaksa"
pemerintah untuk memberi perhatian lebih pada sektor sosial, atau karena
faktor lainnya). Di samping itu, periode evaluasi yang hanya dua tahun
dirasakan terlalu singkat untuk menghasilkan evaluasi dengan validitas
tinggi.
2. Sejauh mana proses perencanaan PUA/PIA
dapat memberikan arah dan masukan bagi aparat pemerintah daerah, sehingga
mereka dapat menghasilkan kebijaksanaan atau inovasi untuk meningkatkan
kinerja KHPPIA?
Ditinjau dari masa pelaksanaannya yang baru
dua tahun, PUA/PIA boleh dikatakan cukup berhasil dalam memberi arah dan
motivasi kepada aparat daerah agar semakin berpihak pada pembangunan sosial,
khususnya melalui pembangkitan local initiative.
Buktinya bisa dilihat dari munculnya beberapa
kegiatan inovatif yang menunjang KHPPIA. Di Jawa Barat tercetus konsep
setrawan yang merupakan perpanjangan tangan Bappeda Tk. I, selaku
Koordinator KHPPIA. Di Sulawesi Selatan, Gerakan Sayang Ibu ditunjang oleh
berbagai kegiatan inovatif di tingkat desa, seperti: ambulans desa,
yang memanfaatkan angkutan perdesaan sebagai ambulans pada saat darurat;
tabungan ibu bersalin (Tabulin), semacam asuransi melahirkan bagi
nasabah BPR; studi banding antar aparat desa; kerjasama bidan dan dukun
bersalin; dsb. Di NTB, antara lain ada Desa Model KHPPIA; Pesantren
Model KHPPIA, Klinik Sanitasi, dan penerbitan media lokal "Kirani".
Walaupun demikian, inovasi yang dihasilkan
pada umumnya masih bersifat teknis (sangat berorientasi pada kegiatan),
belum banyak yang bersifat programatik dan bisa direplikasikan ke tempat
lain.
3. Sejauh mana proses perencanaan PUA/PIA
dapat meningkatkan kinerja proses perencanaan pembangunan sosial melalui
mekanisme perencanaan dari bawah (bottom-up planning), yang mengacu pada
mekanisme P5D?
Kualitas bottom-up planning belum
meningkat, dan substansi perencanaan tidak didukung oleh proses analitis-sintesis
yang mendalam.
Tidak meningkatnya kualitas perencanaan ini
diakibatkan perhatian aparat yang lebih tertuju kepada pelaksanaan prosedur
yang mekanistis, bukan ke substansi perencanaan. Aparat daerah lebih menganggap
pelaksanaan forum P5D sebagai pelaksanaan tugas yang diberikan oleh Depdagri,
bukan sebagai mekanisme perencanaan yang diperlukan.
Selain itu, P5D yang merupakan pertemuan
antara usulan-usulan pusat (top-down) dan daerah (bottom-up),
hanya efektif di tingkat kabupaten ke atas, tidak di tingkat kecamatan
dan desa.
4. Sejauh mana proses perencanaan PUA/PIA
dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan dana daerah, khususnya
yang digunakan untuk pelaksanaan program KHPPIA?
PUA/PIA belum bisa berbuat banyak. Efisiensi
dan efektivitas penggunaan dana untuk KHPPIA, atau pembangunan sosial,
belum meningkat.
Dibandingkan dengan alokasi dana pembangunan
infrastruktur dan ekonomi, maka sektor pembangunan sosial masih mendapat
porsi yang kecil. Dilihat dalam skala nasional, Inpres bantuan khusus (specific
grant) yang langsung menunjang KHPPIA terlihat sangat kecil, yaitu
9,43% dari total Inpres (1996/97) dan menurun menjadi 7,41% pada tahun
anggaran berikutnya.
Selain itu, alokasi dana APBD untuk pembangunan
sosial cukup terganggu oleh beberapa "tekanan sektoral" dari pusat yang
tidak relevan bagi daerah yang bersangkutan.
5. Sejauh mana proses perencanaan PUA/PIA
dapat meningkatkan mutu koordinasi dan keterbukaan antar sektor terkait?
Proses perencanaan PUA/PIA telah berhasil
meningkatkan koordinasi lintas sektor pada tahap perencanaan, walaupun
masih didominasi oleh faktor hubungan personal. Sementara itu, PIA tampak
belum digunakan sebagaimana mestinya, khususnya dalam fungsi monitoring
dan evaluasi yang bersifat lintas sektoral.
6. Sejauh mana proses perencanaan PUA/PIA
dapat meningkatkan efektifitas pengelolaan dan pengendalian dana bantuan
UNICEF?
Perbedaan planning cycle atau sistem
tahun anggaran antara pemerintah RI (1 April s/d 31 Maret tahun berikutnya)
dengan UNICEF (1 Januari s/d 31 Desember tahun yang sama) merupakan kondisi
awal yang membuat pengelolaan dan pengendalian dana UNICEF tidak efektif.
Selain itu, status PIA yang bukan dokumen keuangan dan proses pencairan
dana bantuan UNICEF yang terlalu lama, memperburuk efektivitas penyaluran
dana tersebut.
Kajian
Temuan-temuan yang diperoleh tadi, disintesakan
untuk menjawab lima butir pertanyaan kunci di bawah ini :
1. Apakah proses perencanaan PUA/PIA
menunjukkan kemajuan dalam mencapai sasarannya?
Ya, secara umum ada kemajuan dalam hal
kelancaran proses maupun kualitas hasil perencanaannya.
Secara khusus, apabila dikaitkan satu per
satu dengan butir sasaran PUA/PIA, maka kita dapat melihat butir mana yang
dinilai berhasil dan butir mana yang belum; seperti uraian pada Temuan
di atas.
2. Ditinjau dari segi pembiayaan, apakah
hasil yang telah dicapai oleh proses perencanaan ini sudah cukup memadai?
Ada dua aspek pembiayaan yang perlu
ditinjau, yaitu biaya perencanaan dan biaya pembangunan.
Dalam aspek perencanaan, biaya yang telah
dikeluarkan oleh UNICEF maupun RI boleh dikatakan sangat memadai, dan hasilnya
pun cukup memuaskan. Tetapi dalam aspek pembangunan (artinya pembangunan
sosial), investasi yang sudah dikeluarkan maupun hasilnya belum bisa dikatakan
layak.
3. Apakah tujuan KHPPIA (dan sasaran PUA/PIA)
masih relevan?
Ya, tujuan KHPPIA sebagai suatu
pola pikir atau pendekatan manajemen masih relevan, apalagi dengan adanya
krisis ekonomi dewasa ini, tetapi perlu membuat penekanan tertentu terhadap
beberapa sasaran PUA/PIA, khususnya yang menyangkut pemberdayaan masyarakat.
4. Apa saja hasil yang diperoleh dari
proses perencanaan ini?
Untuk menjawab pertanyaan ini, seharusnya
kita kembali ke tujuan akhir KHPPIA, dengan kata lain mengkaji sejauh mana
AKB, AKI, AKAB, dan BBLR dapat diturunkan, untuk mengetahui prospek
tercapai tidaknya sasaran akhir tahun 2000. Pertanyaan ini belum bisa
dijawab, karena tidak diperoleh data yang benar-benar valid
serta periode pengkajiannya dianggap terlalu singkat untuk menghitung suatu
outcome atau impact pembangunan sosial.
Namun demikian, PUA/PIA setidaknya telah
melahirkan berbagai kegiatan yang inovatif, seperti yang telah disinggung
sebelumnya.
5. Apakah proses perencanaan ini dapat
berkesinambungan tanpa dukungan UNICEF?
Ya, pada prinsipnya dapat berlanjut asal
memenuhi dua prasyarat, yaitu: (1) pola pikir KHPPIA telah tersosialisasikan
dengan baik dan benar; (2) ada dukungan dan komitmen yang kuat dari pimpinan
daerah untuk pembangunan sosial.
Saran
dan Rekomendasi
Rekomendasi dituangkan dalam tiga sasaran
perbaikan dan satu usulan untuk agenda pasca tahun 2000. Ringkasnya sebagai
berikut :
1. Perlu penyempurnaan sistem dan
mekanisme perencanaan, dengan pedoman sebagai berikut :
-
PUA/PIA lebih terintegrasi ke dalam P5D. Sebaliknya,
P5D sendiri harus disempurnakan agar lebih transparan dan akomodatif terhadap
usulan masyarakat dan memihak pada pembangunan sosial (usulan konkritnya
akan dijelaskan melalui bagan dan keterangan).
-
Usulan KHPPIA yang dapat dibiayai suatu unit
daerah tidak perlu diusulkan lagi ke tingkat yang lebih tinggi dan dapat
langsung dibiayai oleh UNICEF.
-
PIA seyogyanya mempunyai kedudukan yang setara
dengan DIP sebagai dokumen keuangan.
-
Proses berpikir analitis-sintesis (TOR, Kerangka
Logis, KIPO, dsb) harus digunakan sebagai dasar perencanaan dan dilampirkan
pada PUA.
-
UNICEF perlu melakukan desentralisasi kewenangan,
dari Pusat ke Field Officer di daerah.
2. Perlu peningkatan kualitas aparat perencana,
antara lain dengan pedoman sebagai berikut :
-
Aparat perencana perlu mendapat banyak pelatihan
tentang participatory planning atau community based development
approach.
-
Sosialisasi paradigma pembangunan sosial harus
lebih digalakkan, ditunjang oleh peningkatan alokasi dana pembangunan sektor
sosial.
-
Indikator kinerja pembangunan harus berorientasi
pada outcome yang mencerminkan pembangunan sosial, bukan ekonomi.
3. Perlu pembentukan iklim yang kondusif untuk
memancing inisiatif lokal, antara lain melalui upaya sebagai berikut :
-
Aparat pemerintah harus menjadi fasilitator,
bukan provider.
-
Memanfaatkan peran dan fungsi pers untuk
sosialisasi KHPPIA ke tingkat masyarakat luas.
-
Mendayagunakan informal leader, khususnya
mereka yang kharismatis dan menjadi panutan masyarakat setempat.
-
Mendayagunakan Duta Besar Keliling UNICEF
untuk opinion making
-
Aparat pemerintah harus mengutamakan keteladanan,
bukan sekedar petunjuk atau petuah belaka.
4. Usulan untuk agenda Kerjasama RI-UNICEF pasca
tahun 2000, setidaknya harus merespons tiga tantangan besar, yaitu: (1)
tantangan akibat krisis ekonomi yang mengakibatkan pemiskinan secara massive;
(2) tantangan globalisasi yang mengharuskan adanya peningkatan daya
saing masyarakat; dan (3) tuntutan masyarakat terhadap reformasi, antara
lain aspek keterbukaan, pemberdayaan, dan realisasi pembangunan sosial.
go
home!